Kamis, 04 Juni 2015

BAB IV Konservasi ARSITEKTUR Kawasan Cagar Budaya Betawi Situ Babakan

BAB IV
 Konservasi ARSITEKTUR Kawasan Cagar Budaya Betawi Situ Babakan

4.1  Kesimpulan
Keberadaan Cagar Budaya Betawi di Kawasan Situ Babakan menjadi langkah yang tepat untuk mempertahankan dan melestarikan kebudayaan Betawi yang semakin terpinggirkan perkembangan kota. Di Cagar Budaya ini masyarakat Situ Babakan masih mempertahankan budaya dan cara hidup khas Betawi,  memancing, bercocok tanam, berdagang, kerajinan tangan, kesenian dan membuat makanan khasnya serta arsitektur tradisional Betawi. Situ Babakan juga menjadi tempat objek wisata.


4.2 Usulan
Agar Cagar Budaya ini tetap hidup harus terus dipublikasikan baik media cetak maupun elektronik dan menarik banyak masyarakat dan komunitas untuk berkunjung dan melestarikannya, salah satunya dengan lebih banyak menggelar kesenian – kesenian dan event khas Betawi yang diolah agar menarik khususnya untuk generasi muda dan menjadikannya pusat rekreasi seni, wisata dan edukasi. Rumah Tradisional Betawi harus tetap mempertahankan elemen-elemen arsitektur khasnya seperti balaksuji, lisplang gigi balang, dan lainnya. Cagar Budaya Betawi seperti ini harus banyak dikembangkan di kawasan – kawasan lain.

Disamping itu perlu diperketat peraturan dan pengawasan zoning lahan, agar pembangunan kota di sekitar kawasan tidak berbenturan dan merusak tatanan Cagar Budaya.

BAB III Konservasi ARSITEKTUR Kawasan Cagar Budaya Betawi Situ Babakan

BAB III
Konservasi ARSITEKTUR Kawasan Cagar Budaya Betawi Situ Babakan

3.1       Eksisting

Lokasi Situ Babakan
Setu Babakan terletak di Srengseng Sawah, kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan, Indonesia.
 17107-0_663_382

Gambar 3.1 : Peta Situ Babakan

 img_23331
Gambar 3.2 : Peta Situ Babakan

3.2       Bangunan dan Arsitektur Kawasan Situ Babakan
Gerbang Masuk Kawasan Situ Babakan



 248835_1918000942874_1027527330_31840503_6853459_n

Gambar 3.3 : Gerbang Masuk Kawasan Setu Babakan

Jembatan Gantung di Kawasan Situ Babakan

246675_1918010743119_1027527330_31840525_6086264_n 
Gambar 3.4 : Jembatan Gantung di Kawasan Situ Babakan


Rumah Adat Betawi di Kawasan Situ Babakan
 252843_1918000262857_1027527330_31840501_522865_n
Gambar 3.5 : Gerbang Masuk Rumah Adat Betawi di Kawasan Situ Babakan



254543_1917999782845_1027527330_31840500_5655666_n 


Gambar 3.7 : Rumah Adat Betawi di Kawasan Situ Babakan


Bangunan di kawasan Situ Babakan serta Rumah – rumah warga tetap mempertahankan Arsitektur Tradisional Betawi, dari fasade terlihat elemen – elemen arsitektural yang khas, seperti balaksuji (tangga depan sebelum masuk ke dalam rumah), lantainya dibuat lebih tinggi dari tanah layaknya rumah panggung, penggunaan lisplang yang diberi ornamen ‘gigi balang’, yakni papan kayu yang dibentuk dengan ornamen segitiga berjajar. Bagian depan rumah memiliki teras terbuka yang dikelilingi pagar rendah terbuat dari  kayu. Di sinilah, biasanya pemilik rumah menjamu tamu yang datang bertandang, struktur rangka dari kayu, namun seiring perkembangan zaman, rumah Betawi kini banyak dibangun dengan dinding tembok. Demikian pula dengan lantai rumah, dulu hanya beralas tanah, tetapi kemudian berkembang dengan menggunakan plesteran semen atau tegel, hingga lantai keramik. Warna bangunan didominasi warna coklat untuk kayu, dinding tembok berwarna putih, lisplang berwarna coklat dan ada pula yang berwarna hijau.

BAB II Konservasi ARSITEKTUR Kawasan Cagar Budaya Betawi Situ Babakan

BAB II
Konservasi ARSITEKTUR Kawasan Cagar Budaya Betawi Situ Babakan

2.1 Situ Babakan
Situ Babakan atau Danau Babakan terletak di Srengseng Sawah, kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan, Indonesia dekat Depok yang berfungsi sebagai pusat Perkampungan Budaya Betawi, suatu area yang diperuntukkan untuk pelestarian warisan budaya Jakarta, yaitu budaya asli Betawi.

 
Gambar 2.1 : Situ Babakan
(Sumber : http://www.anythingjakarta.com/wp-content/uploads/2015/04/setu-babakan2.jpg

Situ Babakan merupakan danau buatan dengan area 30 hektare (79 akre) dengan kedalaman 1-5 meter dimana airnya berasal dari Sungai Ciliwung dan saat ini digunakan sebagai tempat wisata alternatif, bagi warga dan para pengunjung.
Peresmiannya Situ Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi dilakukan pada tahun 2004, yakni bersamaan dengan peringatan HUT DKI Jakarta ke-474. Perkampungan ini dianggap masih mempertahankan dan melestarikan budaya khas Betawi, seperti bangunan, dialek bahasa, seni tari, seni musik, dan seni drama.
Dalam sejarahnya, penetapan Situ Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun 1996. Sebelum itu, Pemerintah DKI Jakarta juga pernah berencana menetapkan kawasan Condet, Jakarta Timur, sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi, namun urung (batal) dilakukan karena seiring perjalanan waktu perkampungan tersebut semakin luntur dari nuansa budaya Betawi-nya. Dari pengalaman ini, Pemerintah DKI Jakarta kemudian merencanakan kawasan baru sebagai pengganti kawasan yang sudah direncanakan tersebut. Melalui SK Gubernur No. 9 tahun 2000 dipilihlah perkampungan Situ Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi. Sejak tahun penetapan ini, pemerintah dan masyarakat mulai berusaha merintis dan mengembangkan perkampungan tersebut sebagai kawasan cagar budaya yang layak didatangi oleh para wisatawan. Setelah persiapan dirasa cukup, pada tahun 2004, Situ Babakan diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi. Sebelum itu, perkampungan Situ Babakan juga merupakan salah satu objek yang dipilih Pacific Asia Travel Association (PATA) sebagai tempat kunjungan wisata bagi peserta konferensi PATA di Jakarta pada bulan Oktober 2002.
Perkampungan Situ Babakan adalah sebuah kawasan pedesaan yang lingkungan alam dan  budayanya yang masih terjaga secara baik. Wisatawan yang berkunjung ke kawasan cagar budaya ini akan disuguhi panorama pepohonan rindang yang akan menambah suasana sejuk dan tenang ketika memasukinya. Di kanan kiri jalan utama, pengunjung juga dapat melihat rumah-rumah panggung berarsitektur khas Betawi yang masih dipertahankan keasliannya.
Yang tak kalah menarik, di perkampungan ini juga banyak terdapat warung yang banyak menjajakan makanan-makanan khas Betawi, seperti ketoprak, ketupat nyiksa, kerak telor, ketupat sayur, bakso, laksa, arum manis, soto betawi, mie ayam, soto mie, roti buaya, bir pletok, nasi uduk, kue apem, toge goreng, dan tahu gejrot.
Wisatawan yang berkunjung ke Situ Babakan juga dapat menyaksikan pagelaran seni budaya Betawi, antara lain tari cokek, tari topeng, kasidah, marawis, seni gambus, lenong, tanjidor, gambang kromong, dan ondel-ondel yang sering dipentaskan di sebuah panggung terbuka berukuran 60 meter persegi setiap hari Sabtu dan Minggu. Selain pagelaran seni, pengunjung juga dapat menyaksikan prosesi-prosesi budaya Betawi, seperti upacara pernikahan, sunat, akikah, khatam Al-Qur‘an, dan nujuh bulan, atau juga sekedar melihat para pemuda dan anak-anak latihan menari dan silat khas Betawi, Beksi.
Sebagai sebuah kawasan cagar budaya, Situ Babakan tidak hanya menyajikan pagelaran seni maupun budaya, melainkan juga menawarkan jenis wisata alam yang tak kalah menarik, yakni wisata danau. Dua danau, yakni Mangga Bolong dan Babakan, di perkampungan ini biasanya dimanfaatkan oleh wisatawan untuk memancing atau sekedar bersenda gurau dan menikmati suasana sejuk di pinggir danau. Selain itu, wisatawan juga dapat menyewa perahu untuk menyusuri dan mengelilingi danau.

2.2       Tindakan Pelestarian
Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan (UU RI No. 11 Tahun 2010). Terdapat beberapa langkah dalam melestarikan Cagar Budaya yaitu:

Pelestarian
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, pengertian Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan,dan memanfaatkannya.
Dalam Undang-Undang tersebut di atas, lembaga yang diberi fungsi untuk melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi berupa benda, bangunan, dan/atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya atau yang bukan Cagar Budaya, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat adalah museum.
Jika kita menyoal pelestarian warisan kebudayaan, maka akan tiba pada pemahaman akan sisi bendawi  dan bukan bendawi dari sebuah warisan. Dalam prakteknya, pendekatan secara holistik pelestarian bendawi dan bukan bendawi menimbulkan kerumitan tersendiri karena kedua unsur tersebut memiliki karakter yang berbeda. Sebuah warisan bendawi, sebut saja sebuah bangunan bersejarah, lebih mudah untuk dikatalogisasi, lalu menerapkan tindakan-tindakan pelindungan yang bersifat konservasi dan restorasi pada fisik bangunannya. Warisan bukan bendawi, di lain pihak, membutuhkan pendekatan yang lebih dalam karena melibatkan pelaku (manusia), kondisi sosial dan lingkungan yang sangat cepat berubah bila dibandingkan dengan bangunan itu sendiri.
Keterlibatan masyarakat atau komunitas masyarakat di sekitar warisan bendawi dalam segi pelindungan sangat dibutuhkan, karena dalam banyak kasus, kerusakan dini yang luput dari perhatian bermula dari ketidaktahuan atau ketidakpedulian masyarakat sekitar. Vandalisme, penjarahan, perusakan Cagar Budaya, merupakan contoh yang nyata.
Kesulitan dalam segi pelindungan bukan bendawi adalah manakala terdapat konsep sejarah di dalamnya. Menurut Drs. I Made Purna, M.Si., seorang peneliti pada BPSNT Bali, dalam memahami sejarah bangsa tercakup dua pengertian di dalamnya yaitu masa lampau dan rekontruksi tentang masa lampau. Masa lampau hanya terdapat dalam ingatan orang-orang (ingatan kolektif) yang pernah mengalaminya. Kenyataan ini baru bisa diketahui oleh orang lain apabila diungkapkan kembali dengan adanya komunikasi dan dokumentasi yang menjadi kisah atau gambaran tentang peristiwa masa lampau.

Pengembangan
Pengembangan, dalam UU Cagar Budaya, adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian.
Masyarakat atau komunitas dalam masyarakat dapat secara aktif bersama-sama dengan museum dapat terlibat dalam tahap pengembangan sebagai bagian dari pelestarian. Penelitian ilmiah dapat dilakukan oleh berbagai pihak untuk menelisik dan menelaah lebih lanjut tentang warisan bendawi dimaksud.
Revitalisasi memungkinkan masyarakat menikmati fungsi asal sebuah Bangunan Cagar Budaya, sebagai contoh sebuah bangunan bersejarah yang kini berfungsi sebagai kantor pemerintahan. Setelah dilakukan kajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, ternyata bangunan dimaksud merupakan fasilitas pertunjukan pada masanya. Pada saat-saat tertentu, fungsi ini dapat dikembalikan seperti semula dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai pelestarian. Demikian juga dalam soal Adaptasi, misalnya penambahan ruangan pada bangunan tersebut sesuai dengan kebutuhan.
Unsur-unsur publikasi Cagar Budaya dapat dikembangkan oleh masyarakat atau komunitas masyarakat melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Publik dapat menampilkan kegiatan-kegiatan promosi berupa pentas seni dan budaya.

Pemanfaatan
Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya (UU Cagar Budaya 2010). Dalam konteks pelestarian, pemanfaatan Cagar Budaya adalah mutlak karena merupakan muara dari pelestarian. Salah satu tujuan Cagar Budaya dilindungi dan dikembangkan ialah agar dapat dimanfaatkan. Pemanfaatannya dapat berupa sarana pembelajaran, pusat rekreasi seni dan budaya, tempat diskusi dan lain sebagainya. Pemanfaatan Cagar Budaya harus ditekankan pada elemen pendidikan karena pemahaman tentang pelestarian itu lebih efektif dilakukan dengan pendekatan pendidikan. Pemanfaatan lainnya dapat berupa kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi, pariwisata, agama, sejarah, dan kebudayaan. Peran serta masyarakat dan komunitas turut andil besar dalam melestarikan kawasan Cagar Budaya.

Zonasi
Zoning adalah suatu upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi dan sekaligus mengatur peruntukan lahan, agar tidak terganggu oleh kepentingan lain yang terjadi disekitarnya, yang oleh Callcott (1989) disebutkan bahwa zonasi merupakan suatu cara atau teknik yang kuat dan fleksibel untuk mengontrol pemanfaatan lahan pada masa datang (Callcott,1989:38). Pernyataan yang dikemukaan oleh Callcott tersebut lebih di tekankan pada pengaturandan pengontrolan pemanfaatan lahan untuk berbagai jenis kepentingan yang diatur secara bersama. Sementara dalam zonasi cagar budaya tujuan utamanya adalah menentukan wilayahsitus serta mengatur atau mengendalikan setiap kegiatan yang dapat dilakukan dalam setiap zona.Dengan demikian maka zonasi cagar budaya yang dimaksud dalam hal ini, memiliki cakupanyang lebih sempit dibanding dengan pengertian yang dikemukakan oleh Callcott, namun memperlihatkan persaman antara satu dengan yang lainya, yaitu masing-masing mengacu pada kepentingan pengendalian dan pemanfaatan lahan agar dapat dipertahankan kelestarianya. Zoning sangat penting contohnya saja jika cagar budaya berada dalam kawasan kota, maka ancaman terbesarnya adalah aktifitas pembangunan kota yang tidak mengindahkan peraturan pelestarian cagar budaya. Oleh karena itu, penentuan strategi zoning harus bersifat aplikatif dan diupayakan dapat mengakomodir  berbagai kepentingan.
Zonasi terhadap situs cagar budaya ini harus dilakukan dengan perspektif yang luas untuk dapat menetapkan suatu sistem penataan ruang yang bijak dengan tetap berpegang pada prinsip pelestarian tanpa merugikan pihak manapun. Hal ini menjadi signifikan mengingat cakupan zonasi cagar budaya biasanya meliputi sebuah wilayah yang cukup luas. Dengan demikian penentuan batas zona harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat secara luas.




Sumber :
http://setubabakan.wordpress.com/about/
http://betawitoday.blogspot.com/2013/04/mp-pbb-mitra-pengelola-pbb-setu-babakan.html

http://www.baliprov.go.id/files/subdomain/disparda/ind/file/UU%20No_11th_2010%20ttg%20Cagar%20Budaya.pdf

BAB I Konservasi Kawasan Cagar Budaya Betawi Situ Babakan

BAB I
Konservasi ARSITEKTUR Kawasan Cagar Budaya Betawi Situ Babakan


1.1   LATAR BELAKANG
DKI Jakarta merupakan Ibu Kota Negara Indonesia yang menjadi pusat pemerintahan, pembangunan, perekonomian dan lainnya yang menarik para penduduk dari berbagai daerah untuk tinggal dan datang ke kota ini. Hal ini dan perkembangan kota yang tidak seimbang menyebabkan semakin terpinggirnya warga Betawi yang mana warga asli Jakarta. Ini dapat menyebabkan Kota Jakarta tidak mempunyai karakter dan kekhasan daerah. Karena itu dibentuklah Cagar Budaya Betawi yang salah satunya yaitu Situ Babakan/ Danau.
Situ Babakan adalah sebuah kawasan perkampungan yang ditetapkan Pemerintah Jakarta sebagai tempat pelestarian dan pengembangan budaya Betawi secara berkesinambungan. Perkampungan yang terletak di selatan Kota Jakarta ini merupakan salah satu objek wisata yang menarik bagi wisatawan yang ingin menikmati suasana khas pedesaan atau menyaksikan budaya Betawi asli secara langsung. Di perkampungan ini, masyarakat Situ Babakan masih mempertahankan budaya dan cara hidup khas Betawi,  memancing, bercocok tanam, berdagang, membuat kerajinan tangan, dan membuat makanan khas Betawi. Melalui cara hidup inilah, mereka aktif menjaga lingkungan dan meningkatkan taraf hidupnya.
Kawasan huniannya memiliki nuansa yang masih kuat dan murni baik dari sisi budaya, seni pertunjukan, jajanan, busana,, rutinitas keagamaan, maupun arsitektur rumah Betawi. Dari perkampungan yang luasnya 289 Hektar, 65 hektar di antaranya adalah milik pemerintah di mana yang baru dikelola hanya 32 hektar. Perkampungan  ini didiami setidaknya 3.000 kepala keluarga. Sebagian besar penduduknya adalah orang asli Betawi yang sudah turun temurun tinggal di daerah tersebut. Sedangkan sebagian kecil lainnya adalah para pendatang, seperti pendatang dari Jawa Barat, jawa tengah, Kalimantan, dll yang sudah tinggal lebih dari 30 tahun di daerah ini.
Sebelumnya ada kawasan yang direncanakan serupa yaitu di wilayah Condet, namun gagal karena seiring perjalanan waktu perkampungan tersebut semakin luntur dari nuansa budaya Betawi-nya, karena itu diperlukan cara yang tepat agar kawasan Situ Babakan ini berhasil mempertahankan, melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi.

1.2  RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka didapatkan rumusan masalah yaitu bagaimanakah penanganan dan langkah untuk pelestarian kawasan Cagar Budaya Betawi Situ Babakan?

1.3 TUJUAN
Mendapatkan cara dan langkah yang tepat agar kawasan Cagar Budaya Betawi Situ Babakan berhasil

1.4  SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I PENDAHULUAN, yang meliputi:
Latar belakang masalah, menguraikan mengapa penulis sampai pada pemilihan topik permasalahan yang besangkutan.
Perumusan masalah, memberikan batasan masalah yang jelas bagian mana dan persoalan yang dikaji dan bagian mana yang tidak.
Tujuan, menggambarkan manfaat dan hasil-hasil yang diharapkan dan penelitian ini dengan memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti.
Sistematika pembahasan / penulisan, memberikan gambaran umum dan bab ke bab isi dan penulisan ilmiah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, yang meliputi:
Menguraikan landasan teori-teori yang menunjang dalam pembahasan penelitian dan dapat dipergunakan dalam menyelesaikan permasalahan yang diangkat. Berisi tindakan pelestarian yang sesuai untuk kawasan cagar budaya.

BAB III GAMBARAN KAWASAN DAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA, yang meliputi:
Berisi kondisi eksisting kawasan dan bangunan berikut ulasan arsitekturalnya : kategori lingkungan dan bangunan pemugarannya, langgam fasade, elemen arsitektural yang khas, material dan warna bangunan

BAB IV USULAN PENANGANAN PELESTARIAN, yang meliputi:
Kesimpulan, usulan langkah, saran penanganan pelestarian kawasan cagar budaya.


Sumber :

http://setubabakan.wordpress.com/about/