1.Adakah Penduduk asli indonesia dan domisilinya??
Tidak
ada penduduk asli indonesia semua sama mengikat dan merangkul menjadi sebuah
masyarakat yang di namakan warga indonesia, dari perbedaan suku, ras, dan
agama, mereka mengikat menjadi satu penduduk berintelektual tinggi dan saling
menghargai sesama manusia.
2.Istilah Pribumi Dan Non Pribumi
Sering
kali mungkin kita mendengar ada suatu kalaangan masyarakat yang menyebutkan
mereka sebagai seorang “pribumi” dan sang pendatang entah itu dari satu pulau
yang sama atau berbeda kepulauan di sebut sebagai “non pribumi”, suatu anggapan
yang saya bilang adalah “persepsi bodoh”, Di negara yang hampir penduduknya
berbeda, suka, agama, ras, dan adat masih mementingkan kepentingan individu
kelompok priyoritas, dan minoritas akan di anggap sebagai yang berbeda, dan
yang lebih menakutkan akan muncul perpecahan, perang suku, tawuran antar warga
dsb, sehingga kita melupakan nilai kemerdekaan yang di berikan para pahlawan
kita, sehingga akan terasa sia-sia darah, kringat dan energi yang mereka
berikan, “ Bhineka Tunggal Ika” pun seakan hanya sebuah kalimat indah yang
tergambar di sebuah simbol bergambar “burung garuda” bagi saya pribadi semua
itu hanya omong kosong, dan persepsi seorang yang bodoh yang ingin memecahkan
kekuatan kita, tidak ada, orang jawa, medan, aceh, sunda, banjar, dsb semua
sama dan satu bernama “indonesia” dan negara ini pun lahir bukan karena
kesamaan yang mendominasi tetapi karena perbedaan yang mengikat kita pada
tujuan yang sama.
3.Mengapa Timbul Istilah
Pribumi Dan Non Pribumi
Isu pribumi dan pribumi timbul di
karenakan pendidikan dan wawasan akan kesadaran berbangsa dan bernegara belum
masuk dan di hayati penuh sepenuhnya oleh masyarakat kita, sehingga timbul
kekuatan kelompok, kelompok sparatis masyarakat dengan orientasi mementingkan
kelompoknya atas nama, agama, tuhan dan yang lebih menakutkan atas nama warga
negara indnesia
4.Siapa yang di maksud non pribumi
TIDAK ADA
Belanda
membagi masyarakat dalam tiga golongan: pertama, golongan Eropa atau Belanda;
kedua timur asing China termasuk India dan Arab; dan ketiga pribumi yang
dibagi-bagi lagi dalam suku bangsa hingga muncul Kampung Bali, Ambon, Jawa dan
lain-lain. Belanda juga mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar
Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah
dengan komunitas Tionghoa. Beberapa diantara mereka ternyata juga telah berjasa
bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun
kanal di Batavia. Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.
Sebetulnya
terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik
sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa, kelompok Tionghoa
berperang melawan VOC tahun 1740-1743. Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa
yang tergabung dalam “Republik” Lanfong berperang dengan pasukan Belanda pada
abad XIX. Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis
Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian
di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di
Batavia tersebut melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang
bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa.
Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa
tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini
menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di
Hindia Belanda.
Secara umum perusahaan Belanda dan pihak
swasta asing dominan dalam sektor ekonomi utama, seperti manufacture,
perkebunan, industri tekstil dan lain-lainnya. Muncul perubahan peran ekonomi
etnis Cina, yang saat itu sedikit demi sedikit memasuki usaha grosir dan ekspor
impor yang waktu itu masih didominasi Belanda. Kemudian diikuti oleh tumbuhnya
bank-bank swasta kecil yang dimiliki oleh etnis Cina, dan muncul juga dalam
industri pertekstilan (Mackie, 1991:322-323).
Bidang pelayaran menjadi sektor utama
yang secara luas dipegang oleh etnis Cina masa itu, tetapi pada akhirnya mendapat
saingan dari perusahaan negara dan swasta pribumi. Pada bidang jasa dan
profesipun secara kuantitatif meningkat, tetapi untuk dinas pemerintahan dan
angkatan bersenjata, secara kuantitas hampir tidak ada.
Pada tahun 1816 sekolah Belanda telah
didirikan, tetapi hanya untuk anak-anak
Belanda. Pada akhir abad XIX anak-anakTionghoa kaya diijinkan masuk sekolah
Belanda,tetapi kesempatan masuk sekolah Belandaamat kecil. Maka pada tahun
1901 masyarakatTionghoa mendirikan sekolah Tionghoa dengannama Tionghoa
Hwee Koan (THHK). Pada tahun 1908 THHK ini sudah didirikan di berbagai kota di
Hindia Belanda.
Perhatian Pemerintah Tiongkok terhadapsekolah THHK ini mulai besar,
banyak guru yang dikirim ke Tiongkok untuk dididik. Melihat perkembangan baru
ini pemerintah kolonialBelanda khawatir kalau tidak dapat menguasaigerak orang
Tionghoa maka didirikan sekolahBelanda untuk orang Tionghoa. Namun biaya di
sekolah Belanda untuk anak Tionghoa ini sangat mahal, kecuali untuk mereka
yang kaya, makaanak Tionghoa yang sekolah di THHK lebihbanyak. Dalam
perkembangan berikutnya Sekolah Belanda lebih dipilih karena lulusan dari
sekolah
Belanda gajinya lebih besar dan lebihmudah mencari pekerjaan di kantor-kantor
besar. Banyak orang meramalkan bahwa THHK akan bubar, tetapi kenyataannya
tidak. Para pengelola eTHHK ini ternyata lebih tanggap terhadap perubahan jaman
sehingga masih tetap dipercaya oleh sebagian orang Tionghoa, bahkan hingga kini
masih ada dan dikenal sebagai salah satu skolah nasional
Masa Orde Lama
Pada jaman orde lama hubungan antara
Indonesia dengan Cina sangat mesra, sampai-sampai tercipta hubungan politik
Poros Jakarta-Peking. Pada waktu itu (PKI). Pada tahun 1946 Konsul Jendral Pem.
Nasionalis Tiongkok, Chiang Chia Tung (itu waktu belum ada RRT) dengan Bung
Karno datang ke Malang dan menyatakan Tiongkok sebagai salah satu 5 negara
besar (one of the big five) berdiri dibelakang Republik Indonesia. Orang
Tionghoa mendapat sorakan khalayak ramai sebagai kawan seperjuangan. Di stadion
Solo olahragawan Tony Wen dengan isterinya (bintang film Tionghoa) menyeruhkan
untuk membentuk barisan berani mati (cibaku-tai, kamikaze) melawan Belanda dan
sesuai contoh batalyon Nisei generasi ke II Jepang di USA yang ikut dalam
perang dunia ke II, di Malang ingin didirikan batalyon Tionghoa berdampingan
dengan lain-lain kesatuan bersenjata seperti Laskar Rakyat, Pesindo, Kris (gol.
Menado), Trip (pelajar) dsb. Pimpinan Tionghoa kuatir provokasi kolonial dapat
menimbulkan bentrokan bersenjata dengan kesatuan Pribumi. Mereka menolak pembentukan
batalyon tsb. Orang-orang Tionghoa yang ingin ikut melawan Belanda dianjurkan
untuk masing-masing masuk kesatuan-kesatuan Pribumi menurut kecocokan pribadi.
Namun
etnis Tionghoa yang begitu dihargai pada masa orde baru, justru menjadi sasaran
pelampiasan massa yang dipolitisir, karena peristiwa G30S/PKI yang didalangi
oleh Partai Komunis Indonesia, ada anggapan bahwa komunis pasti orang Cina,
padahal anggapan seperti itu belum tentu benar. Peristiwa G30S/PKI menjadi
salah satu peristiwa yang sanagt membuat trauma etnis Tionghoa selain
kierusuhan Mei 98.
Masa Orde Baru
Pada
tahun 1965 terjadi pergolakan politik yang maha dasyat di Indonesia, yaitu
pergantian orde, dari orde lama ke orde baru. Orde lama yang memberi ruang
adanya partai Komunis di Indonesia dan orde baru yang membasmi keberadaan
Komunis di Indonesia. Bersamaandengan perubahan politik itu rezim
Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan,
kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini
dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di samping
itu, masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan
tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia
diragukan. Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap
masyarakat keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Di
samping Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran
No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu
disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi
nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim.
Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan ke dalam
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Tidak hanya itu
saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan yang bernama
Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi
Intelijen (Bakin).Ada beberapa peraturan yang mengatur eksistensi etnis Cina di
Indonesia yaitu,Pertama, Keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/KEP/12/1996
tentang masalah ganti nama.Kedua, Instruksi Presidium Kabinet No.
37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina yang wujudnya
dibentuk dalam Badan Koordinasi Masalah Cina, yaitu sebuah unit khusus di
lingkungan Bakin.Ketiga, Surat Edaran Presidium Kabinet RI No.
SE-06/PresKab/6/1967, tentang kebijakan pokok WNI keturunan asing yang mencakup
pembinaan WNI keturunan asing melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah
terjadinya kehidupan eksklusif rasial, serta adanya anjuran supaya WNI
keturunan asing yang masih menggunakan nama Cina diganti dengan nama Indonesia.Keempat,
Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang tempat-tempat yang
disediakan utuk anak-anak WNA Cina disekolah-sekolah nasional sebanyak 40 % dan
setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Cina.Kelima,
Instruksi Menteri Dalam Negara No. 455.2-360/1968 tentang penataan
Kelenteng-kelenteng di Indonesia.
.
C.
Etnis Tionghoa Masa Kini (Era Reformasi)
Reformasi yang digulirkan pada 1998
telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia.
Mereka berupaya memasuki bidang-bidang yang selama 32 tahun tertutup bagi
mereka. Kalangan pengusaha Tionghoa kini berusaha menghindari cara-cara kotor
dalam berbisnis, walaupun itu tidak mudah karena mereka selalu menjadi sasaran
penguasa dan birokrat. Mereka berusaha bermitra dengan pengusaha-pengusaha
kecil non-Tionghoa. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini
sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi
terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun
atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah
menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara,
misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa
Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu,
pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid
Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik
minat warga Tionghoa
Para pemimpin di era reformasi tampaknya
lebih toleran dibandingkan pemimpin masa orde baru.Sejak masa pemerintahan B.J.
Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian
Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah
pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi
untuk membedakan penduduk keturunan Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada
umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada
adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Cina
dan lain sebagainya. Di masa pemerintahan Gusdur, Instruksi Presiden (Inpres)
No 14/1967 yang melarang etnis Tionghoa merayakan pesta agama dan penggunaan
huruf-huruf China dicabut. Selain itu juga ada Keppres yang dikeluarkan
Presiden Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual keagamaan, tradisi dan
budaya kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari libur nasional berkat Keppres
Presiden Megawati Soekarnoputri. Di bawah kepresidenan Susilo Bambang
Yudhoyono, agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi dan sah. Pelbagai
kalangan etnis Tionghoa mendirikan partai politik, LSM dan ormas. SBKRI tidak
wajib lagi bagi WNI, walaupun ada oknum-oknum birokrat di jajaran imigrasi dan
kelurahan yang masih berusaha memeras dengan meminta SBKRI saat orang Tionghoa
ingin memperbaharui paspor dan KTP.
Sebelum Orde Baru etnis Tionghoa aktif
dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Setelah 32 tahun ‘berdiam’ mereka
kembali melakukan kegiatan sosial, aktif dalam bidang pendidikan. Bahasa
Mandarin mulai diajarkan di pelbagai sekolah sebagai bahasa alternatif di
samping bahasa Inggris. Jadi mereka mulai berani memasuki bidang-bidang di luar
bisnis semata. Mereka membuka diri dan memperdulikan lingkungan di sekitarnya.
Merayakan ritual agama dst. Filsafat kalangan etnis Tionghoa sekarang adalah:
‘berakar di bumi tempat berpijak’, artinya: (lahir dan) menetap di Indonesia
selama-lamanya