BAB II
Konservasi
ARSITEKTUR Kawasan Cagar Budaya Betawi Situ Babakan
2.1 Situ Babakan
Situ
Babakan atau Danau Babakan terletak di Srengseng Sawah, kecamatan Jagakarsa,
Kotamadya Jakarta Selatan, Indonesia dekat Depok yang berfungsi sebagai pusat
Perkampungan Budaya Betawi, suatu area yang diperuntukkan untuk pelestarian
warisan budaya Jakarta, yaitu budaya asli Betawi.
Gambar 2.1 : Situ Babakan
(Sumber : http://www.anythingjakarta.com/wp-content/uploads/2015/04/setu-babakan2.jpg
Situ
Babakan merupakan danau buatan dengan area 30 hektare (79 akre) dengan
kedalaman 1-5 meter dimana airnya berasal dari Sungai Ciliwung dan saat ini
digunakan sebagai tempat wisata alternatif, bagi warga dan para pengunjung.
Peresmiannya Situ
Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi dilakukan pada tahun 2004, yakni
bersamaan dengan peringatan HUT DKI Jakarta ke-474. Perkampungan ini dianggap
masih mempertahankan dan melestarikan budaya khas Betawi, seperti bangunan,
dialek bahasa, seni tari, seni musik, dan seni drama.
Dalam
sejarahnya, penetapan Situ Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi
sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun 1996. Sebelum itu, Pemerintah DKI
Jakarta juga pernah berencana menetapkan kawasan Condet, Jakarta Timur, sebagai
kawasan Cagar Budaya Betawi, namun urung (batal) dilakukan karena seiring
perjalanan waktu perkampungan tersebut semakin luntur dari nuansa budaya
Betawi-nya. Dari pengalaman ini, Pemerintah DKI Jakarta kemudian merencanakan
kawasan baru sebagai pengganti kawasan yang sudah direncanakan tersebut.
Melalui SK Gubernur No. 9 tahun 2000 dipilihlah perkampungan Situ Babakan
sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi. Sejak tahun penetapan ini, pemerintah dan
masyarakat mulai berusaha merintis dan mengembangkan perkampungan tersebut
sebagai kawasan cagar budaya yang layak didatangi oleh para wisatawan. Setelah
persiapan dirasa cukup, pada tahun 2004, Situ Babakan diresmikan oleh Gubernur
DKI Jakarta, Sutiyoso, sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi. Sebelum itu,
perkampungan Situ Babakan juga merupakan salah satu objek yang dipilih Pacific
Asia Travel Association (PATA) sebagai tempat kunjungan wisata bagi peserta
konferensi PATA di Jakarta pada bulan Oktober 2002.
Perkampungan Situ
Babakan adalah sebuah kawasan pedesaan yang lingkungan alam dan budayanya yang masih terjaga secara baik.
Wisatawan yang berkunjung ke kawasan cagar budaya ini akan disuguhi panorama
pepohonan rindang yang akan menambah suasana sejuk dan tenang ketika
memasukinya. Di kanan kiri jalan utama, pengunjung juga dapat melihat
rumah-rumah panggung berarsitektur khas Betawi yang masih dipertahankan
keasliannya.
Yang
tak kalah menarik, di perkampungan ini juga banyak terdapat warung yang banyak
menjajakan makanan-makanan khas Betawi, seperti ketoprak, ketupat nyiksa, kerak
telor, ketupat sayur, bakso, laksa, arum manis, soto betawi, mie ayam, soto
mie, roti buaya, bir pletok, nasi uduk, kue apem, toge goreng, dan tahu gejrot.
Wisatawan
yang berkunjung ke Situ Babakan juga dapat menyaksikan pagelaran seni budaya
Betawi, antara lain tari cokek, tari topeng, kasidah, marawis, seni gambus,
lenong, tanjidor, gambang kromong, dan ondel-ondel yang sering dipentaskan di
sebuah panggung terbuka berukuran 60 meter persegi setiap hari Sabtu dan
Minggu. Selain pagelaran seni, pengunjung juga dapat menyaksikan
prosesi-prosesi budaya Betawi, seperti upacara pernikahan, sunat, akikah,
khatam Al-Qur‘an, dan nujuh bulan, atau juga sekedar melihat para pemuda dan
anak-anak latihan menari dan silat khas Betawi, Beksi.
Sebagai sebuah
kawasan cagar budaya, Situ Babakan tidak hanya menyajikan pagelaran seni maupun
budaya, melainkan juga menawarkan jenis wisata alam yang tak kalah menarik,
yakni wisata danau. Dua danau, yakni Mangga Bolong dan Babakan, di perkampungan
ini biasanya dimanfaatkan oleh wisatawan untuk memancing atau sekedar bersenda
gurau dan menikmati suasana sejuk di pinggir danau. Selain itu, wisatawan juga
dapat menyewa perahu untuk menyusuri dan mengelilingi danau.
2.2 Tindakan Pelestarian
Cagar Budaya
adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan
Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar
Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena
memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan (UU RI No. 11 Tahun 2010).
Terdapat beberapa langkah dalam melestarikan Cagar Budaya yaitu:
Pelestarian
Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya,
pengertian Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan
Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan,dan
memanfaatkannya.
Dalam
Undang-Undang tersebut di atas, lembaga yang diberi fungsi untuk melindungi,
mengembangkan, memanfaatkan koleksi berupa benda, bangunan, dan/atau struktur
yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya atau yang bukan Cagar Budaya, dan
mengomunikasikannya kepada masyarakat adalah museum.
Jika kita menyoal
pelestarian warisan kebudayaan, maka akan tiba pada pemahaman akan sisi
bendawi dan bukan bendawi dari sebuah
warisan. Dalam prakteknya, pendekatan secara holistik pelestarian bendawi dan
bukan bendawi menimbulkan kerumitan tersendiri karena kedua unsur tersebut
memiliki karakter yang berbeda. Sebuah warisan bendawi, sebut saja sebuah
bangunan bersejarah, lebih mudah untuk dikatalogisasi, lalu menerapkan
tindakan-tindakan pelindungan yang bersifat konservasi dan restorasi pada fisik
bangunannya. Warisan bukan bendawi, di lain pihak, membutuhkan pendekatan yang
lebih dalam karena melibatkan pelaku (manusia), kondisi sosial dan lingkungan
yang sangat cepat berubah bila dibandingkan dengan bangunan itu sendiri.
Keterlibatan
masyarakat atau komunitas masyarakat di sekitar warisan bendawi dalam segi
pelindungan sangat dibutuhkan, karena dalam banyak kasus, kerusakan dini yang
luput dari perhatian bermula dari ketidaktahuan atau ketidakpedulian masyarakat
sekitar. Vandalisme, penjarahan, perusakan Cagar Budaya, merupakan contoh yang
nyata.
Kesulitan dalam
segi pelindungan bukan bendawi adalah manakala terdapat konsep sejarah di
dalamnya. Menurut Drs. I Made Purna, M.Si., seorang peneliti pada BPSNT Bali,
dalam memahami sejarah bangsa tercakup dua pengertian di dalamnya yaitu masa
lampau dan rekontruksi tentang masa lampau. Masa lampau hanya terdapat dalam
ingatan orang-orang (ingatan kolektif) yang pernah mengalaminya. Kenyataan ini
baru bisa diketahui oleh orang lain apabila diungkapkan kembali dengan adanya
komunikasi dan dokumentasi yang menjadi kisah atau gambaran tentang peristiwa
masa lampau.
Pengembangan
Pengembangan,
dalam UU Cagar Budaya, adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi
Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan
Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan
Pelestarian.
Masyarakat atau
komunitas dalam masyarakat dapat secara aktif bersama-sama dengan museum dapat
terlibat dalam tahap pengembangan sebagai bagian dari pelestarian. Penelitian
ilmiah dapat dilakukan oleh berbagai pihak untuk menelisik dan menelaah lebih
lanjut tentang warisan bendawi dimaksud.
Revitalisasi
memungkinkan masyarakat menikmati fungsi asal sebuah Bangunan Cagar Budaya,
sebagai contoh sebuah bangunan bersejarah yang kini berfungsi sebagai kantor
pemerintahan. Setelah dilakukan kajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan,
ternyata bangunan dimaksud merupakan fasilitas pertunjukan pada masanya. Pada
saat-saat tertentu, fungsi ini dapat dikembalikan seperti semula dengan tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai pelestarian. Demikian juga dalam soal Adaptasi,
misalnya penambahan ruangan pada bangunan tersebut sesuai dengan kebutuhan.
Unsur-unsur
publikasi Cagar Budaya dapat dikembangkan oleh masyarakat atau komunitas
masyarakat melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Publik dapat
menampilkan kegiatan-kegiatan promosi berupa pentas seni dan budaya.
Pemanfaatan
Pemanfaatan
adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya (UU Cagar
Budaya 2010). Dalam konteks pelestarian, pemanfaatan Cagar Budaya adalah mutlak
karena merupakan muara dari pelestarian. Salah satu tujuan Cagar Budaya
dilindungi dan dikembangkan ialah agar dapat dimanfaatkan. Pemanfaatannya dapat
berupa sarana pembelajaran, pusat rekreasi seni dan budaya, tempat diskusi dan
lain sebagainya. Pemanfaatan Cagar Budaya harus ditekankan pada elemen
pendidikan karena pemahaman tentang pelestarian itu lebih efektif dilakukan
dengan pendekatan pendidikan. Pemanfaatan lainnya dapat berupa kepentingan ilmu
pengetahuan, teknologi, pariwisata, agama, sejarah, dan kebudayaan. Peran serta
masyarakat dan komunitas turut andil besar dalam melestarikan kawasan Cagar
Budaya.
Zonasi
Zoning adalah
suatu upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi dan sekaligus mengatur
peruntukan lahan, agar tidak terganggu oleh kepentingan lain yang terjadi
disekitarnya, yang oleh Callcott (1989) disebutkan bahwa zonasi merupakan suatu
cara atau teknik yang kuat dan fleksibel untuk mengontrol pemanfaatan lahan
pada masa datang (Callcott,1989:38). Pernyataan yang dikemukaan oleh Callcott
tersebut lebih di tekankan pada pengaturandan pengontrolan pemanfaatan lahan
untuk berbagai jenis kepentingan yang diatur secara bersama. Sementara dalam
zonasi cagar budaya tujuan utamanya adalah menentukan wilayahsitus serta
mengatur atau mengendalikan setiap kegiatan yang dapat dilakukan dalam setiap
zona.Dengan demikian maka zonasi cagar budaya yang dimaksud dalam hal ini,
memiliki cakupanyang lebih sempit dibanding dengan pengertian yang dikemukakan
oleh Callcott, namun memperlihatkan persaman antara satu dengan yang lainya,
yaitu masing-masing mengacu pada kepentingan pengendalian dan pemanfaatan lahan
agar dapat dipertahankan kelestarianya. Zoning sangat penting contohnya saja
jika cagar budaya berada dalam kawasan kota, maka ancaman terbesarnya adalah
aktifitas pembangunan kota yang tidak mengindahkan peraturan pelestarian cagar
budaya. Oleh karena itu, penentuan strategi zoning harus bersifat aplikatif dan
diupayakan dapat mengakomodir berbagai
kepentingan.
Zonasi terhadap
situs cagar budaya ini harus dilakukan dengan perspektif yang luas untuk dapat
menetapkan suatu sistem penataan ruang yang bijak dengan tetap berpegang pada
prinsip pelestarian tanpa merugikan pihak manapun. Hal ini menjadi signifikan
mengingat cakupan zonasi cagar budaya biasanya meliputi sebuah wilayah yang
cukup luas. Dengan demikian penentuan batas zona harus mempertimbangkan
kepentingan masyarakat secara luas.
Sumber :
http://setubabakan.wordpress.com/about/
http://betawitoday.blogspot.com/2013/04/mp-pbb-mitra-pengelola-pbb-setu-babakan.html
http://www.baliprov.go.id/files/subdomain/disparda/ind/file/UU%20No_11th_2010%20ttg%20Cagar%20Budaya.pdf